Sejarah Petrus: Kontroversi Penembakan Tanpa Pengadilan

Sejarah Indonesia mencatat satu babak kelam yang dikenal sebagai Penembakan Misterius (Petrus), terjadi antara tahun 1983 hingga 1985 di era Orde Baru. Ratusan, bahkan ribuan orang yang dicap “preman” ditemukan tewas dengan luka tembak tanpa melalui proses hukum. Ini adalah praktik penegakan hukum di luar batas yang memicu kontroversi hebat hingga kini.

Petrus muncul sebagai respons pemerintah terhadap maraknya kejahatan jalanan atau “premanisme” yang meresahkan masyarakat. Presiden Soeharto kala itu berdalih bahwa tindakan “ekstrem” diperlukan untuk menekan angka kriminalitas dan menciptakan rasa aman di tengah masyarakat. Yogyakarta menjadi kota pertama dimulana operasi ini pada 1983.

Metode yang digunakan dalam operasi Petrus sangat brutal. Para korban, yang seringkali hanya diidentifikasi dari tato atau penampilan, ditembak mati dan mayatnya ditinggalkan di tempat umum. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk menyebarkan teror psikologis dan memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan lainnya.

Namun, di balik klaim efektivitasnya, Petrus secara terang-terangan melanggar hak asasi manusia (HAM) fundamental. Hak untuk hidup, hak atas proses hukum yang adil, dan hak untuk tidak disiksa diabaikan sepenuhnya. Pembunuhan tanpa pengadilan ini kemudian diakui Komnas HAM sebagai salah satu kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Meskipun kuat dugaan adanya keterlibatan aparat negara, pemerintah Orde Baru tidak pernah secara resmi mengakui atau bertanggung jawab atas operasi Petrus. Hal ini menimbulkan impunitas bagi para pelaku dan menyisakan luka mendalam bagi keluarga korban yang hingga kini masih menuntut keadilan dan kebenaran.

Kasus Petrus menjadi pengingat penting akan bahaya penyalahgunaan kekuasaan oleh negara. Penegakan hukum harus selalu berada dalam koridor konstitusi dan prinsip-prinsip HAM. Keamanan tidak boleh dicapai dengan mengorbankan nyawa dan hak dasar warga negara tanpa proses hukum yang transparan dan akuntabel.

Hingga saat ini, proses penyelesaian kasus Petrus masih menjadi tantangan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh aktivis HAM dan Komnas HAM, namun kebenaran dan keadilan yang seutuhnya belum tercapai. Sejarah ini mengajarkan pentingnya menuntaskan masa lalu demi masa depan yang lebih baik.

Petrus adalah noda dalam sejarah penegakan hukum Indonesia. Mengenang peristiwa ini adalah bentuk komitmen untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Semoga keadilan dapat ditegakkan dan hak asasi manusia selalu dihormati sebagai fondasi utama negara hukum demokratis.

Theme: Overlay by Kaira Extra Text
Cape Town, South Africa